Berbagi Bersama

Mimpi di Tengah Lumpur: Sekolah Itu Masih Ada

Di balik riuhnya kota dan kecanggihan teknologi, ada sebuah sekolah berdinding bambu yang tetap berdiri meski diterjang banjir saban musim. Bukan karena kuatnya bangunan, tapi karena kokohnya semangat para murid dan guru yang percaya: pendidikan adalah harapan terakhir yang tak boleh padam.


Setiap pagi, Ana berjalan sejauh tiga kilometer melewati sawah berlumpur dan jembatan gantung rapuh demi sampai di kelas. Ia duduk di bangku kayu reyot, berbagi buku tulis dengan adiknya. Di kelas yang hanya berdinding terpal dan beratap seng berkarat itu, Ana mendengar kisah tentang dunia—tentang angka, kata, dan mimpi.

Gurunya, Pak Rudi, tidak digaji. Ia datang tiap hari dari desa sebelah naik sepeda tua, mengajar 15 anak dengan satu papan tulis kecil dan dua spidol bekas. “Selama mereka masih mau datang, saya akan tetap mengajar,” ucapnya suatu pagi.

Sementara di tempat lain, ada anak-anak yang menolak sekolah karena sinyal Wi-Fi putus. Ironi yang nyata.

Di tengah keterbatasan, Ana tetap bermimpi menjadi dokter. “Supaya bisa bantu orang-orang di desa saya yang sakit tapi nggak punya uang ke rumah sakit,” katanya polos. Mimpi yang sederhana, tapi sangat besar untuk desa kecilnya.


Kemanusiaan dan Pendidikan: Dua Sayap Masa Depan

Pendidikan bukan hanya soal gedung bagus atau fasilitas lengkap. Ia adalah tentang bagaimana manusia diberdayakan untuk mengenali potensinya. Dan kemanusiaan adalah ketika kita tak tinggal diam melihat anak-anak seperti Ana berjuang sendirian dalam gelapnya ketimpangan.

Hari ini, mari kita lihat kembali: berapa banyak ruang kelas yang kita bangun, berapa guru yang kita dukung, dan berapa mimpi yang telah kita bantu tumbuhkan?


Ajakannya sederhana: bantu satu anak untuk tetap belajar, maka kamu telah menyalakan satu bintang di langit masa depan.


Jika kamu ingin artikel ini dikembangkan dalam versi video pendek, infografis, atau konten media sosial berdurasi 1 menit, aku bisa bantu siapkan juga.



Leave a Reply